Dua tahun sebelum Rasulullah saw. hijrah ke Madinah, beliau berhasil merekrut 12 orang dari penduduk Madinah yang saat itu bernama Yatsrib untuk berjanji memeluk Islam. Perjanjian itu disebut dengan Bai’at ‘Aqabah pertama. Isi dari perjanjian itu ada beberapa hal, diantaranya: hanya menyembah Allah swt. dan tidak menyekutukan-Nya, tidak berbuat zina dan mencuri, tidak membunuh anak, tidak berkata bohong atau melakukan fitnah, dan menyambut seruan nabi Muhammad saw. dengan selalu berbuat kebaikan dan kedamaian. Setelah perjanjian selesai, mereka kembali ke Madinah didampingi oleh seorang sahabat senior yang bertugas membimbing dan mengarahkan mereka agar tetap komitmen dengan perjanjian yang telah diucapkan. Sahabat tersebut adalah Mus’ab bin Umair, radhiyallahu ‘anhu.
Selama satu tahun di Madinah, Mus’ab bin Umair dan 12 orang alumni Bai’at ‘Aqabah pertama, tidak hanya mampu menjaga isi perjanjian, namun mereka juga berhasil melakukan rekruitmen pengikut Islam baru. Terbukti, pada tahun berikutnya terjadi peristiwa perjanjian setia lagi yang di kenal denga Bai’at ‘Aqabah kedua di tempat yang sama dengan sebelumnya. Kali ini, peserta perjanjian bertambah 75 orang, 73 dari kalangan laki-laki dan 2 perempuan. Isi dari penjanjian kedua ini adalah siap setia dan taat untuk melindungi Nabi Muhammad saw., siap ikut berjuang dalam membela Islam baik dengan harta maupun jiwa mereka, berusaha untuk memajukan agama Islam dengan menyebarkannya kepada keluarga dan sanak kerabatnya, dan siap menanggung segala risiko dan tantangan yang kelak akan dihadapi oleh penduduk Yatsrib. Sekembali ke Madinah, mereka didampingi oleh 12 pembina.
Apabila kita cermati lebih lanjut, ternyata isi perjanjian pertama berbeda dengan kedua. Bai’at ‘Aqabah pertama berisi tentang komitmen keimanan untuk memperbaiki diri dengan hanya melakukan kebiasaan baik dan meninggalkan kebiasaan jelek yang selama ini sudah menjadi tradisi di masyarakat. Perbaikan diri itulah yang menjadi kunci utama untuk sukses dalam perjalanan berikutnya. Adapun perjanjian kedua sudah berisi tentang kominten untuk menyebarkan Islam dan menyiarkannya, bukan hanya untuk kebaikan dan kepentingan pribadi, namun sudah harus didakwahkan kepada yang lain. Bahkan dalam Bai’at ‘Aqabah kedua tersirat adanya komitmen untuk membela nabi Muhammad saw. dengan siap menghadapi apapun risikonya dan menyiapkan Madinah untuk menyambut dan menerima kehadiran Rasulullah saw.
Pelajaran berharga dari peristiwa ini adalah bahwa untuk membangun sebuah komunitas masyarakat, yang paling utama harus diperhatikan adalah masalah perbaikan diri dari masing-masing individu yang bergabung dalam komunitas tersebut. Perbaikan diri itu akan mengantarkan kepada terwujudnya komitmen terhadap nilai-nilai dan disiplin menjalannkan aturan yang disepakati bersama. Seorang pemimpin suatu lembaga atau institusi juga demikian, seyogyanya permasalahan integritas anggota menjadi perhatian pertama dan utama. Perlu mencari cara dan strategi yang efektif untuk membina para anggota agar memiliki kematangan jiwa sehingga mampu memikul tanggung jawab dan beban perjuangan di kemudian hari. Itulah yang terlihat dari cara Rasulullah menyiapkan generasi masa depan, di Madinah yang akan menjadi destinasi hijrah beliau. Dari Madinah pula perjalanan dakwah dan ekspansi Islam mulai berjalan dengan cepat ke seluruh jazirah Arab.
Mengacu kepada isi Bai’at ‘Aqabah pertama, dapat difahami pula bahwa proses perbaikan diri itu dapat dilakukan dengan membersihkan diri atau tazkiyatun nafs dari sifat-sifat jahat. Jiwa yang bersih menjadi media untuk dapat menerima segala perbaikan berikutnya, siap untuk berkurban dengan jiwa dan harta, serta tidak mundur ketika harus menghadapi tantangan dan ujian di jalan kebenaran. Hal yang paling mendasar dari proses tazkiyatun nafs adalah membersihkan hati yang merupakan pangkal dari segala-galanya. Demikianlah Rasulullah saw. bersabda: “Ketahuilah, sesungguhnya di dalam tubuh manusia itu ada segumpal daging, jika segumpal daging itu baik, maka baiklah seluruh tubuhnya, dan jika segumpal daging itu buruk, maka buruklah seluruh tubuhnya. Ketahuilah bahwa segumpal daging itu adalah hati” (HR. Bukhari dan Muslim).
Di zaman sekarang ini, proses tazkiyatun nafs menjadi lebih penting untuk diperhatikan dan diutamakan, pada saat kebatilan berlomba-lomba untuk menyebarkan dan mempropagandakan kebatilannya, pada saat kedzaliman dengan pongahnya menampilkan kedzalimannya. Jika hati tidak bersih, maka akan mudah tergiur dengan godaan kebatilan dan mudah mengikuti arus kedzaliman. Kebanyakan manusia hanya memperhatikan hal-hal yangdzahir saja, kita lebih bersemangat memperhatikan pakaian supaya tidak kotor, kita juga sangat menjaga agar rumah dan kendaraan kita selalu bersih. Namun sayang sekali, kita jarang bahkan lupa menjaga kebersihan hati. Ingatlah firman Allah, “Sungguh beruntung orang yang menyucikan jiwa itu, dan sungguh merugi orang yang mengotorinya” (Asy-Syams: 9-10)
Secara tidak sadar, kita sering melakukan dan membiarkan banyak hal yang justru berpotensi mengotori hati kita. Misalnya, mungkin kita seringkali mengukur kesuksesan seseorang dengan ukuran harta kekayaan, gelar, pangkat, jabatan, kedudukan, popularitas dan lain sebagainya. Sudah barang tentu, ukuran-ukuran tersebut tidak ada dalam al-Quran. Al-Quran menyebutkan hanya satu saja ukuran kemuliaan seseorang, yaitu sebagaimana firman Allah: “.Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling bertaqwa di antara kamu” (Al-Hujurat:13), dan ketakwaan itu tempatnya ada di dalam hati. Semakin bersih hati seseorang, maka akan semakin mudah untuk bertakwa kepada Allah swt. Sebaliknya semakin kotor hati seseorang, maka semakin minim ketakwaannya.
Wallahu A’lam
Batu, 12 Agustus 2021
U.B. Umar