Pada hari itu, rasulullah saw. sudah menyadari betul bahwa beliau sedang dikepung oleh orang kafir Quraisy, tujuan mereka tidak lain adalah menghabisi nyawa Muhammad saw. Inilah keputusan akhir dari orang kafir Quraisy setelah segala upaya untuk menghalangi dan menggagalkan lajunya dakwah Islam tidak berhasil dilakukan. Ternyata suasana yang genting dan menakutkan itu disikapi oleh Rasulullah saw. dengan tenang, seolah-olah tidak ada sesuatu yang perlu dirisaukan. Dengan sikap tenang tersebut, semua skenario Rasulullah dapat perjalan dengan baik. Ketenangan diri Rasulullah dalam menghadapi suasanya yang sangat mencekam itu tidak lain karena adanya keyakinan bahwa Allah swt. selalu membersamainya atau disebut dengan ma’iyyatullah.
Ma’iyyatullah itulah yang membuat Rasulullah melangkahkan kaki keluar rumah dengan tenang tanpa khawatir dengan apapun. Seolah-olah Rasulullah tidak melihat siapapun dari mereka yang sedang mengepung rumah beliau, dan merekapun tidak menyadari kalau Rasulullah sudah keluar rumah dengan tenang dan aman. Demikian juga ketika bersembunyi di goa Tsur, saat orang-orang yang mengejar Rasulullah dan Abu Bakar sampai pada pintu goa, situasinya sudah sangat menegangkan, seandainya mereka menganggukkan kepalanya ke bawah, pasti mereka akan mendapati baginda nabi Muhammad dan sahabatnya di dalam goa. Lagi-lagi karena keyakinan akan ma’iyyatullah, maka Allah-pun menyelamatkannya nabi Muhammad saw. dan Abu Bakar As-Shiddiq.
Allah berfirman: “Ketika orang-orang kafir (musyrikin Mekah) mengeluarkannya (dari Mekah) sedang dia salah seorang dari dua orang ketika keduanya berada dalam gua, di waktu dia berkata kepada temannya: “Janganlah kamu berduka cita, sesungguhnya Allah beserta kita”. Maka Allah menurunkan keterangan-Nya kepada (Muhammad) dan membantunya dengan tentara yang kamu tidak melihatnya” (At-Taubah:40). Sungguh, ketenangan Rasulullah luar biasa dan tidak ada batasnya. Ketenangan itu tumbuh karena selalu mengingat Allah dan berdzikir kepada-Nya. Ketenangan itu dibangun di atas fondasi keimanan yang kuat bahwa Allah pasti bersama mereka dan akan menolongnya.
Inilah diantara pelajaran paling utama dari perjalanan hijrah nabi Muhammad saw. Pelajaran ini sangat relevan dengan kondisi kita saat ini, dimana-mana banyak sekali kebohongan dan fitnah yang sengaja dibuat oleh orang tertentu untuk mendapatkan tujuan tertentu. Sungguh kejam fitnah itu, yang seringkali juga dilakukan sesama muslim, dilakukan oleh seorang muslim untuk menghabisi kawannya sendiri. Sepertinya mereka tidak takut kepada Allah swt. yang akan meminta pertanggungjawaban segala apa yang mereka lakukan. Pada saat musibah fintah menimpa seorang muslim, cara yang paling efektif agar tetap tenang dan tegar menghadapinya adalah selalu berdzikir kepada Allah dan tetap yakin bahwa Allah akan membersamai dan menolongnya (QS. Ghafir:51).
Dengan demikian, tidak ada kata putus asa bagi orang yang hanya minta mertolongan kepada Allah swt. Tidak ada kata hina dan rendah diri bagi orang yang bangga bersama Allah. Sebaliknya, barang siapa yang meminta pertolongan kepada selain Allah, pasti mereka akan kalah dan menyesal, meskipun secara dzahir mendapatkan keberuntungan. Barang siapa yang bangga dan merasa mulia ketika tidak bersama Allah, maka sesungguhnya merekalah orang yang hina. Seorang mukmin sejati tidak mungkin luntur keyakinannya akan pertolongan dari Allah swt. Sudah barang tentu harus disertai dengan usaha optimal, persiapan maksimal dan perencanaan yang matang. Jika tidak, maka hal itu bertentangan dengan perintah Allah dan Rasul-Nya yang mengharuskan manusia untuk selalu berikhtiar dan mengambil sebab dalam rangka menggapai tujuan tertentu.
Sebagai pendidik, baik guru maupun dosen, hendaknya selalu menanamkan nilai-nilai seperti ini kepada peserta didik dan mahasiswanya. Nilai ma’iyyatullah berdampak positif pada diri orang yang memilikinya, diantaranya, pertama: membentuk kepribadian yang handal. Pribadi yang kokoh dalam memilih dan berpegang teguh pada kebanaran. Kedua: menuntun manusia untuk selalu disiplin terhadap waktu dan pekerjaannya, karena merasa selalu diawasi oleh Allah swt. Ketiga: bertanggung jawab dan bekerja profesional sesuai dengan mekanisme dan prosedur yang ditetapkan. Motivasi orang yang bekerja disertai ma’iyyatullah adalah ibadah, maka dia akan berusaha semaksimal mungkin agar ibadahnya tidak sia-sia dan dapat diterima oleh Allah swt. Lebih penting lagi jika nilai-nilai kebaikan itu diajarkan kepada murid-muridnya dengan keteladanan, agar tidak seperti lilin yang hanya dapat menyinari orang-orang di sekelilingnya, namun pada saat yang sama membakar dirinya.
Pandemi C-19, jika betul-betul konsep ma’iyyatullah ini dapat kita internalisasikan dalam diri kita, maka dengan izin Allah justru kita akan dapat melaluinya dengan berbagai prestasi yang bermanfaat, bahkan menjadi ladang amal sholeh yang luar biasa bagi kita. Namun jika tidak ada ma’iyyatullah, maka bisa jadi akan membuat kita putus asa dan tidak berbuat apa-apa, pada akhirnya akan menghancurkan diri kita sendiri, wal ‘yadzu billah.
Wallahu A’lam
Batu, 10 Agustus 2021
U.B. Umar