Salah seorang penyair Arab bernama Qathari bin Al-Fujaah pernah berpidato, dalam pidatonya bercerita tentang hakekat dunia, diantaranya dia menyebutkan bahwa dunia ini adalah baddalah naqqalah, artinya selalu berganti dan perpindah. Tidak ada orang yang bisa hidup selamanya di dunia ini, umurnya sangat pendek dan terbatas, suatu saat jika telah tiba masanya pasti akan meninggalkan dunia ini. Demikian pula dengan seluruh isi bumi ini, tidak ada yang abadi. Mungkin kita sering menjumpai orang yang sebelumnya tidak punya harta, namun tidak lama kemudian menjadi orang yang kaya raya bergelimang harta. Sebaliknya ada orang yang sebelumnya hidup mewah berkecukupan, sekarang menjadi gelandangan tidak memiliki kekayaan. Tidak jarang juga kita temukan orang yang tadinya hina bahkan terzalimi, tiba-tiba menjadi orang terhormat dan bermartabat. Sebaliknya yang sebelumnya di atas, ternyata harus bergelimpangan di bawah.
Itulah salah satu dari sunnatullah di dunia ini, adalah hukum pergiliran atau perputaran roda kehidupan menjadi sebuah keharusan. Kaidah pergiliran yang disebut dalam istilah Arab dengan sunnatut at-tadawul adalah sebuah keniscayaan yang telah disebutkan oleh Allah dalam firman-Nya, “Dan hari-hari (kejayaan dan kehancuran) itu Kami pergilirkan di antara manusia (agar mereka mendapat pelajaran), dan agar Allah membedakan orang-orang yang beriman (dengan orang-orang kafir) dan agar sebagian kamu dijadikan-Nya (gugur sebagai) syuhada” (QS Ali ‘Imran: 140).
Bagi orang mukmin, seharusnya sudah meyakini akan adanya sunnatut at-tadawul ini, agar dalam kehidupannya tidak ada kata patah semangat. Serendah dan sehina apapun kondisi seorang mukmin di dunia ini tidak boleh putus asa, karena pasti masih ada harapan dan kesempatan untuk merubah keadaan menjadi lebih baik. Bahkan semakin menderita biasanya kebangkitan dan kemenangan itu semakin dekat, sebagaimana malam yang tidak pernah akan abadi, semakin larut pasti fajar akan segera menyingsing. Pada saat yang sama dengan adanya sunnatut at-tadawul ini, manusia mukmin harus tetap tegar menjadi pribadi yang tangguh dan terus tumbuh dengan sejuta harapan yang pasti akan dipergilirkan oleh Allah kepada mereka.
Hikmah lain dari sunnatut at-tadawul ini adalah bahwa mansuia tidak boleh sombong dengan prestasi yang telah dicapainya, apalagi sampai melupakan Dzat yang menganugerahkan prestasi tersebut. Ingat kisah Qarun dalam al-Quran yang karena kesombongannya hingga melupakan Allah, pada akhirnya juga hancur binasa bersama kecongkakannya. Orang yang sombong dengan kehebatan yang diraihnya biasanya dilanjutkan dengan sikap zalim dan berbuat semena-mena pada orang lain. Betul-betul lupa kalau suatu saat kehebatannya akan hilang, kekayaannya akan lenyap dan kekuasaannya akan digantikan oleh orang lain. Semakin tinggi kesombongan dan kezaliman seseorang, biasanya semakin dekat pada kehancurannya, sebagaimana Fir’aun yang binasa pada saat berada di puncak kejayaannya (kezalimannya).
Sunnatut at-tadawul ini apabila disadari betul oleh setiap mukmin, maka semua kondisi akan disikapi dengan biasa-biasa saja, tidak ada yang istimewa. Seorang mukmin pasti menyadari bahwa yang luar biasa dan istimewa hanyalah Allah swt. semata. Ia sadar sesadar-sadarnya bahwa suatu saat, dalam waktu cepat atau lebih cepat lagi kedudukan dan jabatan yang dicapai itu pasti berganti dan dipergilirkan kepada yang lain, sehingga kesempatan berkuasa sebentar itu harus digunakan untuk berbagi kebaikan dan memberi manfaat sebanyak-banyaknya buat orang lain. Dengan memahami sunnatut at-tadawul ini juga akan membuat orang mukmin bekerja dengan optimal, melaksanakan amanah dengan penuh semangat dan tanggung jawab, sehingga semakin banyak prestasi dan kebaikan yang dapat dirasakan manfaatnya oleh orang lain.
Ketika pada saatnya kekuasaan seorang mukmin itu telah berakhir dan dipergilirkan kepada orang lain, maka dengan izin Allah ia akan dapat mengakhirinya dengan baik dan bahagia, bukan dengan sedih dan menderita. Dia berbahagia karena telah menunaikan amanah dengan optimal, dia menyaksikan telah banyak orang yang merasakan kebaikan dan manfaat darinya. Orang-orang yang mendapat manfaat juga tidak segan-segan mendoakan kebaikan dan keselamatan. Oleh karena itu, kesadaran akan keniscayaan sunnatut at-tadawul ini harus betul-betul ditanamkan pada diri kita masing-masing. Semoga setiap amanah, tugas dan kewajiban yang sementara ada di pundak kita, dapat kita tunaikan dengan penuh tanggung jawab. Kita sadar bahwa sunnatut at-tadawul pasti akan terjadi.
Wallahu A’lam
U.B. Umar
Batu, 31 Juli 2021